Apa Itu Hukum Pidana Internasional?
Sumber Hukum Pidana Internasional: Apa Itu Hukum Pidana Internasional?
Apa itu hukum pidana internasional? – Hukum pidana internasional, layaknya sistem hukum lainnya, berakar pada berbagai sumber hukum yang saling melengkapi dan membentuk kerangka norma-norma yang mengikat. Pemahaman akan sumber-sumber ini krusial untuk memahami bagaimana kejahatan internasional didefinisikan, diinvestigasi, dan diproses.
Sumber-sumber utama hukum pidana internasional terdiri dari tiga pilar utama: perjanjian internasional, kebiasaan internasional, dan prinsip-prinsip umum hukum. Ketiga pilar ini saling berinteraksi dan membentuk sebuah sistem yang dinamis dan berkembang seiring dengan perubahan konteks global dan kesadaran akan kejahatan internasional.
Perjanjian Internasional
Perjanjian internasional, yang juga dikenal sebagai traktat atau konvensi, merupakan kesepakatan tertulis antara negara-negara yang memiliki kekuatan hukum mengikat. Perjanjian ini berperan penting dalam membentuk norma-norma hukum pidana internasional, menetapkan definisi kejahatan tertentu, dan mengatur mekanisme penegakan hukumnya. Perjanjian-perjanjian ini dapat bersifat bilateral (antara dua negara) atau multilateral (antara lebih dari dua negara).
- Statuta Roma: Statuta Roma merupakan contoh perjanjian internasional yang sangat penting. Statuta ini membentuk Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC), yang memiliki yurisdiksi atas kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Statuta ini mendetailkan definisi kejahatan-kejahatan tersebut, prosedur hukumnya, dan mekanisme penegakannya.
- Konvensi Jenewa: Serangkaian perjanjian yang melindungi korban konflik bersenjata, termasuk tawanan perang, warga sipil, dan personel medis. Konvensi ini menetapkan norma-norma hukum humaniter internasional yang merupakan bagian integral dari hukum pidana internasional.
- Konvensi Pencegahan dan Hukuman Kejahatan Genosida: Konvensi ini mendefinisikan genosida sebagai kejahatan internasional dan mewajibkan negara-negara untuk mencegah dan menghukum pelaku genosida.
Kebiasaan Internasional
Kebiasaan internasional merujuk pada norma-norma hukum yang muncul dari praktik negara-negara yang konsisten dan berkelanjutan, disertai dengan keyakinan bahwa praktik tersebut mengikat secara hukum (opinio juris). Perkembangan hukum kebiasaan internasional dalam konteks kejahatan internasional seringkali berjalan seiring dengan evolusi pemahaman tentang tanggung jawab negara dan hak asasi manusia.
Hukum pidana internasional mengatur kejahatan yang melanggar hukum internasional, seperti genosida atau kejahatan perang. Konsep pertanggungjawaban dalam hukum ini berbeda dengan mekanisme pertanggungjawaban sipil, misalnya dalam klaim asuransi. Pahami lebih lanjut tentang mekanisme pengajuan ganti rugi dengan membaca artikel ini: Apa itu klaim asuransi?. Kembali ke hukum pidana internasional, sanksi yang diterapkan pun beragam, mulai dari hukuman penjara hingga sanksi internasional lainnya terhadap negara atau individu yang bersalah.
Contohnya, norma larangan terhadap penyiksaan telah berkembang menjadi hukum kebiasaan internasional, meskipun tidak terdapat perjanjian internasional yang secara eksplisit mendefinisikannya sebagai kejahatan universal. Praktik negara-negara yang secara konsisten mengecam dan menghukum penyiksaan, serta keyakinan mereka bahwa praktik tersebut dilarang secara hukum, telah membentuk norma hukum kebiasaan ini.
Kasus-kasus di pengadilan internasional, seperti putusan-putusan Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ), seringkali mengacu pada hukum kebiasaan internasional dalam menentukan norma-norma yang berlaku. Analisis putusan-putusan tersebut dapat memberikan gambaran lebih rinci tentang perkembangan hukum kebiasaan internasional dalam konteks kejahatan tertentu.
Prinsip-Prinsip Umum Hukum, Apa itu hukum pidana internasional?
Prinsip-prinsip umum hukum merujuk pada prinsip-prinsip dasar hukum yang diakui secara universal oleh sistem hukum nasional di berbagai negara. Prinsip-prinsip ini, seperti prinsip keadilan, kesetaraan, dan larangan terhadap ex post facto, dapat digunakan untuk mengisi celah hukum dalam hukum pidana internasional dan untuk menginterpretasikan norma-norma hukum yang sudah ada.
Prinsip-prinsip ini memberikan landasan etis dan moral bagi hukum pidana internasional, memastikan bahwa sistem hukum internasional tetap adil dan konsisten dengan nilai-nilai universal.
Singkatnya, hukum pidana internasional mengatur kejahatan yang melanggar hukum internasional, seperti genosida atau kejahatan perang. Memahami landasan hukumnya seringkali melibatkan pemahaman tentang perjanjian internasional, karena banyak norma hukum pidana internasional bersumber dari perjanjian. Untuk lebih jelasnya tentang dasar hukum perjanjian itu sendiri, Anda bisa membaca penjelasan di sini: Apa itu hukum perjanjian?. Dengan memahami hukum perjanjian, kita bisa lebih memahami bagaimana norma-norma dalam hukum pidana internasional tercipta dan diterapkan, menciptakan kerangka kerja yang lebih jelas dalam menangani kejahatan internasional yang melintasi batas negara.
Ringkasan Statuta Roma
Statuta Roma, yang membentuk Mahkamah Pidana Internasional (ICC), bertujuan untuk mengakhiri impunitas bagi para pelaku kejahatan internasional yang paling serius. Statuta ini memiliki cakupan yurisdiksi atas kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Mekanisme penegakan hukumnya meliputi penyelidikan, penuntutan, dan peradilan oleh ICC, dengan penekanan pada keadilan dan perlindungan korban.
Statuta Roma juga menetapkan prinsip-prinsip penting seperti komplementeritas (ICC hanya akan bertindak jika sistem peradilan domestik tidak mau atau tidak mampu mengadili), dan prinsip ne bis in idem (larangan penuntutan ganda atas kejahatan yang sama).
Kejahatan dalam Hukum Pidana Internasional
Hukum pidana internasional mendefinisikan dan mengatur berbagai kejahatan yang begitu serius sehingga dianggap sebagai pelanggaran terhadap komunitas internasional secara keseluruhan. Kejahatan-kejahatan ini, yang melangkahi batas-batas kedaulatan nasional, membutuhkan mekanisme peradilan internasional untuk memastikan pertanggungjawaban para pelakunya. Pemahaman akan jenis-jenis kejahatan ini dan unsur-unsur konstitutifnya sangat krusial dalam upaya menegakkan keadilan global dan mencegah pengulangan pelanggaran hak asasi manusia yang mengerikan.
Jenis-Jenis Kejahatan dalam Yurisdiksi Hukum Pidana Internasional
Hukum pidana internasional mengakui beberapa kategori kejahatan yang serius, masing-masing dengan karakteristik dan unsur konstitutif yang spesifik. Kejahatan-kejahatan ini, yang seringkali saling tumpang tindih, mencakup genosida, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan agresi. Perbedaan utama terletak pada konteks dan target kejahatan tersebut.
Genosida
Genosida didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan, seluruhnya atau sebagian, suatu kelompok nasional, etnis, ras, atau agama. Ini termasuk pembunuhan anggota kelompok, menyebabkan penderitaan fisik atau mental yang serius kepada anggota kelompok, sengaja menciptakan kondisi kehidupan yang bertujuan untuk menghancurkan kelompok secara keseluruhan atau sebagian, menetapkan tindakan yang bertujuan untuk mencegah kelahiran di dalam kelompok, dan secara paksa memindahkan anak-anak dari satu kelompok ke kelompok lain.
“Genosida berarti salah satu tindakan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan, seluruhnya atau sebagian, suatu kelompok nasional, etnis, ras, atau agama, yaitu: (a) Pembunuhan anggota kelompok; (b) Penyebab kerusakan fisik atau mental yang serius kepada anggota kelompok; (c) Sengaja menciptakan kondisi kehidupan yang bertujuan untuk menghancurkan seluruhnya atau sebagian suatu kelompok; (d) Menetapkan tindakan yang bertujuan untuk mencegah kelahiran di dalam kelompok; (e) Secara paksa memindahkan anak-anak dari satu kelompok ke kelompok lain.” – Konvensi Genosida PBB
Contoh kasus nyata genosida adalah pembantaian di Rwanda tahun 1994, di mana ratusan ribu warga Tutsi dibunuh oleh ekstrimis Hutu.
Kejahatan Perang
Kejahatan perang adalah pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional yang terjadi selama konflik bersenjata. Ini mencakup berbagai tindakan, termasuk pembunuhan, penyiksaan, perlakuan kejam, penahanan sewenang-wenang, pemerkosaan, dan penghancuran harta benda.
Hukum pidana internasional mengatur kejahatan yang melanggar hukum internasional, seperti genosida atau kejahatan perang. Konsep pertanggungjawaban dalam hukum ini berbeda dengan mekanisme pertanggungjawaban sipil, misalnya dalam klaim asuransi. Pahami lebih lanjut tentang mekanisme pengajuan ganti rugi dengan membaca artikel ini: Apa itu klaim asuransi?. Kembali ke hukum pidana internasional, sanksi yang diterapkan pun beragam, mulai dari hukuman penjara hingga sanksi internasional lainnya terhadap negara atau individu yang bersalah.
Contohnya adalah pembunuhan warga sipil di Srebrenica selama Perang Bosnia (1992-1995).
Kejahatan terhadap Kemanusiaan
Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah tindakan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis terhadap penduduk sipil. Tindakan-tindakan ini termasuk pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi atau pemindahan penduduk, penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan, dan penyiksaan lainnya.
Hukum pidana internasional mengatur kejahatan yang melanggar hukum internasional, seperti genosida atau kejahatan perang. Memahami konsekuensi hukumnya penting, karena berkaitan erat dengan risiko yang ditanggung. Analogi sederhana, bayangkan perusahaan asuransi yang menghadapi klaim besar akibat bencana alam; ini mirip dengan risiko yang dihadapi negara dalam kasus pelanggaran hukum internasional. Untuk lebih memahami konsep risiko, silakan baca artikel ini: Apa itu risiko dalam asuransi?
. Kembali ke hukum pidana internasional, perlu diingat bahwa mekanisme pertanggungjawabannya berbeda dengan sistem hukum domestik, mencakup berbagai aspek kompleks yang perlu dikaji lebih dalam.
Contoh kasus adalah kekejaman yang dilakukan oleh rezim Saddam Hussein di Irak.
Hukum pidana internasional mengatur kejahatan yang melanggar hukum internasional, seperti genosida atau kejahatan perang. Konsep pertanggungjawaban dalam hukum ini berbeda dengan mekanisme pertanggungjawaban sipil, misalnya dalam klaim asuransi. Pahami lebih lanjut tentang mekanisme pengajuan ganti rugi dengan membaca artikel ini: Apa itu klaim asuransi?. Kembali ke hukum pidana internasional, sanksi yang diterapkan pun beragam, mulai dari hukuman penjara hingga sanksi internasional lainnya terhadap negara atau individu yang bersalah.
Kejahatan Agresi
Kejahatan agresi merupakan penggunaan kekerasan bersenjata oleh suatu Negara terhadap kedaulatan atau integritas teritorial Negara lain, atau terhadap penduduknya, yang merupakan pelanggaran terhadap Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Unsur-unsur konstitutifnya mencakup penggunaan kekerasan bersenjata yang signifikan, pelanggaran terhadap Piagam PBB, dan niat untuk melakukan tindakan tersebut. Kriteria untuk menentukan “penggunaan kekerasan bersenjata yang signifikan” masih terus berkembang dan diperdebatkan dalam konteks hukum internasional.
Invasi Irak ke Kuwait pada tahun 1990 merupakan contoh kejahatan agresi.
Singkatnya, hukum pidana internasional mengatur kejahatan yang melanggar hukum internasional, seperti genosida atau kejahatan perang. Berbeda dengan itu, penyelesaian sengketa antar individu atau perusahaan seringkali dilakukan di luar pengadilan, melalui mekanisme alternatif seperti yang dijelaskan dalam artikel Hukum Arbitrase: Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. Kembali ke hukum pidana internasional, sistem peradilannya pun berbeda, berfokus pada akuntabilitas individu atas pelanggaran norma-norma internasional yang serius, bukan pada penyelesaian sengketa sipil.
Pengadilan Pidana Internasional (ICC)
Pengadilan Pidana Internasional (ICC) merupakan pengadilan internasional yang independen dan permanen yang bertugas mengadili individu yang bertanggung jawab atas kejahatan paling serius yang menjadi perhatian komunitas internasional. Berbeda dengan pengadilan-pengadilan nasional, ICC berwenang untuk menyelidiki dan mengadili kejahatan-kejahatan tersebut ketika negara-negara yang berwenang tidak atau tidak mampu melakukannya. Keberadaan ICC merupakan langkah signifikan dalam upaya penegakan hukum internasional dan keadilan global.
Peran dan Fungsi Pengadilan Pidana Internasional (ICC)
ICC memiliki peran utama dalam mengadili individu atas empat kejahatan inti: genosida, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan agresi. Fungsi ICC meliputi penyelidikan, penuntutan, dan peradilan atas individu yang diduga melakukan kejahatan-kejahatan tersebut. ICC juga berperan dalam mendorong kerja sama internasional dalam hal penegakan hukum internasional dan membantu negara-negara dalam membangun kapasitas untuk menyelidiki dan mengadili kejahatan-kejahatan yang termasuk dalam yurisdiksinya. Keputusan ICC bertujuan untuk memberikan keadilan bagi para korban dan mencegah terjadinya kejahatan serupa di masa mendatang.
Proses Hukum di ICC
Proses hukum di ICC dimulai dengan tahap penyelidikan awal, yang dapat dipicu oleh rujukan dari negara-negara anggota, Dewan Keamanan PBB, atau Jaksa ICC sendiri. Jika Jaksa menemukan dasar yang cukup, maka akan dilakukan penyelidikan formal. Tahap selanjutnya adalah penuntutan, di mana Jaksa akan mengajukan dakwaan terhadap terdakwa. Setelah dakwaan diajukan, akan dilakukan persidangan di hadapan hakim-hakim ICC. Proses persidangan ini mengikuti aturan prosedur yang ketat dan memberikan kesempatan kepada terdakwa untuk membela diri. Setelah persidangan, hakim akan mengeluarkan putusan, yang dapat berupa pembebasan, atau hukuman penjara sesuai dengan tingkat keseriusan kejahatan yang dilakukan.
Berikut diagram alir proses hukum di ICC:
Rujukan dari Negara Anggota/Dewan Keamanan PBB/Jaksa ICC → Penyelidikan Awal → Penyelidikan Formal → Dakwaan → Persidangan → Putusan (Pembebasan/Hukuman Penjara)
Tantangan dan Kendala ICC
ICC menghadapi berbagai tantangan dan kendala dalam menjalankan tugasnya. Beberapa di antaranya adalah kurangnya kerja sama dari beberapa negara, yang dapat menghambat penyelidikan dan penuntutan. Selain itu, sumber daya yang terbatas dan proses hukum yang panjang dan kompleks juga menjadi kendala. Terdapat pula perdebatan mengenai yurisdiksi ICC dan keseimbangan antara keadilan dan kedaulatan negara. Terakhir, pengaruh politik internasional juga dapat memengaruhi kinerja dan independensi ICC.
Negara-negara yang Meratifikasi dan Belum Meratifikasi Statuta Roma
Statuta Roma merupakan perjanjian internasional yang membentuk ICC. Hingga saat ini, banyak negara telah meratifikasi Statuta Roma, menunjukkan dukungan mereka terhadap pengadilan internasional ini. Namun, masih ada beberapa negara yang belum meratifikasi Statuta Roma, yang dapat membatasi efektivitas ICC dalam menjalankan tugasnya. Daftar lengkap negara-negara yang telah dan belum meratifikasi Statuta Roma dapat ditemukan di situs web resmi ICC.
Sebagai contoh, Amerika Serikat, yang merupakan kekuatan dunia utama, belum meratifikasi Statuta Roma. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang komitmen negara tersebut terhadap keadilan internasional. Sebaliknya, banyak negara di Eropa dan Afrika telah meratifikasi Statuta Roma, menunjukkan dukungan yang kuat terhadap pengadilan internasional ini. Perbedaan dalam tingkat dukungan ini mencerminkan perbedaan perspektif dan kepentingan politik antar negara.
Prinsip-prinsip Hukum Pidana Internasional
Hukum pidana internasional, sebagai cabang hukum yang mengatur kejahatan internasional, berlandaskan pada sejumlah prinsip fundamental yang menjamin keadilan dan konsistensi dalam penegakan hukum di tingkat global. Prinsip-prinsip ini menentukan batasan kewenangan negara dan melindungi individu dari penyalahgunaan kekuasaan. Pemahaman mendalam terhadap prinsip-prinsip ini krusial untuk memahami bagaimana hukum pidana internasional berfungsi dan bagaimana kejahatan internasional ditangani.
Prinsip Legalitas (Nullum Crimen Sine Lege)
Prinsip legalitas, yang sering dirumuskan sebagai nullum crimen sine lege (tidak ada kejahatan tanpa hukum), merupakan prinsip fundamental dalam hukum pidana internasional. Prinsip ini menegaskan bahwa seseorang tidak dapat dihukum atas suatu perbuatan kecuali perbuatan tersebut telah dikategorikan sebagai kejahatan berdasarkan hukum internasional yang berlaku sebelum perbuatan tersebut dilakukan. Dengan kata lain, tidak boleh ada hukuman tanpa adanya hukum yang sebelumnya telah menetapkan perbuatan tersebut sebagai kejahatan. Prinsip ini mencegah penuntutan yang bersifat ex post facto, yaitu penuntutan berdasarkan hukum yang dibuat setelah perbuatan dilakukan.
Contohnya, jika suatu tindakan dianggap sebagai kejahatan perang setelah perang berakhir, maka individu yang melakukan tindakan tersebut sebelum perang berakhir tidak dapat dituntut berdasarkan hukum baru tersebut. Namun, perlu diingat bahwa evolusi hukum internasional dapat mengakibatkan interpretasi baru terhadap norma-norma yang sudah ada, sehingga suatu tindakan yang sebelumnya tidak dianggap sebagai kejahatan dapat dikategorikan sebagai kejahatan berdasarkan interpretasi hukum yang berkembang.
Prinsip Non-Refoulement
Prinsip non-refoulement melarang suatu negara untuk mengembalikan (refouler) seorang pengungsi atau pencari suaka ke negara tempat mereka berisiko menghadapi penyiksaan, perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat, atau ancaman serius terhadap nyawa mereka. Prinsip ini merupakan norma hukum internasional yang jus cogens, artinya merupakan norma yang bersifat memaksa dan tidak dapat dilanggar oleh negara mana pun.
Sebagai contoh, negara-negara tidak boleh mengembalikan pengungsi Rohingya ke Myanmar jika mereka berisiko menghadapi penganiayaan sistematis. Penerapan prinsip ini seringkali menghadapi tantangan praktis, terutama dalam konteks konflik bersenjata atau ketidakstabilan politik di negara asal pengungsi. Meskipun demikian, prinsip non-refoulement tetap menjadi pedoman penting dalam perlindungan pengungsi dan pencari suaka.
Implikasi Prinsip-prinsip Hukum Pidana Internasional bagi Penegakan Hukum Internasional
Prinsip-prinsip hukum pidana internasional, seperti legalitas dan non-refoulement, memiliki implikasi yang signifikan bagi penegakan hukum internasional. Prinsip-prinsip ini membentuk kerangka kerja hukum yang memastikan akuntabilitas atas kejahatan internasional dan perlindungan bagi individu. Penerapan yang konsisten dari prinsip-prinsip ini menciptakan sistem peradilan internasional yang lebih adil dan efektif. Ketidakkonsistenan dalam penerapan prinsip-prinsip ini dapat mengikis kepercayaan pada sistem peradilan internasional dan menghambat upaya untuk mencegah dan menghukum kejahatan internasional.
Keberhasilan penegakan hukum internasional sangat bergantung pada komitmen negara-negara untuk menghormati dan menerapkan prinsip-prinsip ini. Kerjasama internasional, termasuk melalui pengadilan internasional seperti Mahkamah Pidana Internasional (ICC), sangat penting untuk memastikan akuntabilitas bagi pelaku kejahatan internasional dan untuk melindungi korban.
Tabel Ringkasan Prinsip-prinsip Utama Hukum Pidana Internasional
Prinsip | Penjelasan Singkat | Contoh Kasus |
---|---|---|
Nullum Crimen Sine Lege | Tidak ada kejahatan tanpa hukum yang sebelumnya telah menetapkan perbuatan tersebut sebagai kejahatan. | Kasus-kasus yang melibatkan kejahatan perang di mana tindakan tersebut baru dikategorikan sebagai kejahatan setelah perang berakhir. |
Non-Refoulement | Larangan mengembalikan pengungsi atau pencari suaka ke negara tempat mereka berisiko menghadapi bahaya. | Kasus pengungsi Rohingya yang ditolak suaka oleh negara-negara tetangga dan berisiko dikembalikan ke Myanmar. |
Ius Cogens | Norma-norma hukum internasional yang bersifat memaksa dan tidak dapat dilanggar. | Pelarangan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang. |
Prinsip Universalitas | Negara dapat memiliki yurisdiksi atas kejahatan internasional, terlepas dari tempat kejahatan dilakukan atau kewarganegaraan pelaku. | Penangkapan dan penuntutan mantan diktator di pengadilan negara lain. |
Perkembangan Prinsip-prinsip Hukum Pidana Internasional
Prinsip-prinsip hukum pidana internasional telah berkembang secara signifikan dari waktu ke waktu. Awalnya, hukum internasional sebagian besar berfokus pada hubungan antar negara, dengan sedikit perhatian pada perlindungan individu. Namun, setelah Perang Dunia II, terjadi pergeseran paradigma yang signifikan, dengan meningkatnya kesadaran akan perlunya akuntabilitas atas kejahatan serius yang dilakukan terhadap individu. Pembentukan pengadilan internasional seperti Pengadilan Militer Internasional Nuremberg dan Tokyo menandai tonggak penting dalam perkembangan hukum pidana internasional. Sejak itu, hukum pidana internasional terus berkembang, dengan munculnya kejahatan baru seperti genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, dan pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
Perkembangan ini menunjukkan komitmen yang terus meningkat dari komunitas internasional untuk menegakkan keadilan dan melindungi individu dari kejahatan internasional. Namun, tantangan tetap ada, termasuk memastikan kerja sama internasional yang efektif dan mengatasi masalah kedaulatan negara dalam konteks penegakan hukum internasional.
Pertanyaan Umum (FAQ)
Bagian ini akan membahas beberapa pertanyaan umum terkait hukum pidana internasional, guna memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang kompleksitas dan penerapannya dalam praktik.
Perbedaan Kejahatan Perang dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan
Kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, meskipun keduanya merupakan pelanggaran serius hukum internasional, memiliki perbedaan penting. Kejahatan perang secara spesifik mengacu pada pelanggaran hukum perang yang terjadi selama konflik bersenjata. Ini meliputi tindakan seperti pembunuhan, penyiksaan, atau pemerkosaan terhadap warga sipil, perlakuan kejam terhadap tawanan perang, dan penggunaan senjata terlarang. Sementara itu, kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan tindakan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis terhadap penduduk sipil. Tindakan ini tidak harus terjadi dalam konteks konflik bersenjata, dan dapat mencakup pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk, penyiksaan, pemerkosaan, penganiayaan, dan penghilangan paksa.
Sebagai contoh, pembantaian Srebrenica tahun 1995 merupakan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pembantaian tersebut merupakan bagian dari serangan sistematis terhadap penduduk sipil Bosnia, dan melibatkan pembunuhan massal, yang memenuhi kriteria kejahatan perang karena terjadi selama konflik bersenjata, serta kejahatan terhadap kemanusiaan karena merupakan bagian dari serangan meluas dan sistematis.
Yurisdiksi Pengadilan Kriminal Internasional (ICC)
Yurisdiksi ICC didasarkan pada beberapa prinsip kunci. Pertama, negara yang bersangkutan harus meratifikasi Statuta Roma, perjanjian yang membentuk ICC. Kedua, kejahatan yang dituduhkan harus terjadi di wilayah negara anggota atau dilakukan oleh warga negara anggota. Ketiga, negara tersebut harus gagal atau tidak mau untuk menyelidiki dan menuntut sendiri kejahatan tersebut (prinsip komplementaritas). ICC hanya dapat menjalankan yurisdiksi jika negara yang berwenang tidak mau atau tidak mampu melakukan penuntutan.
Mekanisme yurisdiksi melibatkan beberapa langkah, mulai dari laporan awal mengenai dugaan kejahatan, penyelidikan pendahuluan oleh Jaksa ICC, hingga akhirnya pengajuan kasus ke pengadilan jika terdapat bukti yang cukup. Dewan Hakim ICC akan kemudian memutuskan apakah akan melanjutkan persidangan.
Peran Negara dalam Menegakkan Hukum Pidana Internasional
Negara-negara memiliki peran sentral dalam menegakkan hukum pidana internasional. Kewajiban utama mereka meliputi: menyerahkan individu yang dicari oleh ICC, bekerja sama dalam investigasi dan penuntutan kejahatan, dan mengintegrasikan norma-norma hukum pidana internasional ke dalam sistem hukum domestik mereka. Tanggung jawab ini mencakup pencegahan kejahatan, penyelidikan, penuntutan, dan hukuman bagi para pelakunya. Selain itu, negara-negara juga memiliki kewajiban untuk melindungi para korban kejahatan internasional dan memberikan mereka akses ke keadilan dan reparasi.
Kekuatan Hukum Putusan ICC
Putusan ICC mengikat bagi negara-negara anggota yang terlibat dalam kasus tersebut. Namun, ICC tidak memiliki mekanisme penegakan langsung. Penggunaan paksaan fisik untuk menangkap dan menyerahkan terdakwa bergantung pada kerjasama negara-negara anggota. Kekuatan hukum putusan ICC terutama terletak pada tekanan politik dan diplomatik yang dapat diberikan kepada negara-negara yang tidak mematuhi putusan tersebut. Meskipun tidak memiliki kekuatan paksa secara langsung, putusan ICC memiliki pengaruh signifikan dalam membentuk norma-norma hukum internasional dan mendorong akuntabilitas bagi para pelanggar hukum internasional.
Interaksi Hukum Pidana Internasional dan Hukum Pidana Nasional
Prinsip komplementaritas merupakan landasan utama dalam interaksi antara hukum pidana internasional dan hukum pidana nasional. Prinsip ini menyatakan bahwa ICC hanya akan menjalankan yurisdiksi atas suatu kasus jika negara yang berwenang tidak mau atau tidak mampu menyelidiki dan menuntut kejahatan tersebut secara efektif. Dengan kata lain, hukum pidana nasional memiliki prioritas utama dalam penuntutan kejahatan, dan ICC bertindak sebagai pengadilan terakhir jika negara tersebut gagal menjalankan kewajibannya. Ini memastikan bahwa sistem hukum nasional tetap berperan penting dalam penegakan keadilan dan mencegah ICC dari intervensi yang tidak perlu dalam urusan internal negara-negara.